Jumat, 28 Oktober 2011

PENALARAN


BAB I                                                             PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang

Sebuah topik tertentu dapat saja disoroti dengan mempergunakan dengan salah satu bentuk retorika modern. Misalnya topik dalam perguruan tinggi yang disoroti menggunakan keempat macam bentuk retorika, Pertama disoroti dengan menggunakan bentuk narasi, contohnya kalau ia berbicara atau bercerita mengenai sejarah pendidikan dan perkembangan perguruan tinggi itu. Kedua dengan bentuk deskripsi, contohnya, bila ia berusaha melukiskan keadaan yang nyata sekarang dalam perguruan tinggi itu, tentang pimpinannya, tentang peranan produsen, mahasiswa dan sebagainya. Ketiga dalam bentuk eksposisi,contohnya bila ia berusaha menguraikan tujuan atau cita-cita perguruan tinggi tersebut. Yang terakhir argumentasi, contohnya ia menyatakan pendiriannya agar diadakan perubahan dan perbaikan atau bagaimana seharusnya kebijaksanaan pendidikan di perguruan tinggi. Agar mereka mempercayai, ia harus mengemukakan dengan bukti-bukti yang dapat memperkuat pendiriannya atau mendapatnya.
Dasar sebuah tulisan yang bersifat argumentatif adalah berpikir secara kritis dan logis. Maka dari itu ia harus bertolak dari bukti-bukti yang ada. Fakta dan evidensi itu dapat dijalin dalam metode-metode sebagaimana juga dipergunakan oleh eksposisi. Bedanya hanya dalam argumentasi terdapat motivasi yang lebih kuat. Arti dari argumentasi sendiri adalah suatu bentuk retorika yang berusaha mempengaruhi seseorang baik dalam sikap maupun pendapat, sehingga mereka bertindak sesuai dengan apa yang di inginkan oleh penulis atau pembicara.
Dari semua kenyatan di atas, untuk membicarakan tentang sebuah tulisan argumentatif, terlebih dahulu dikemukankan dasar yang penting sebagai landasan argumentasi. Untuk itu masalah dikemukankan permasalahan penalaran, yang pertama bagaimana dapat merumuskan pendapat yang benar sebagai hasil proses berfikir yang berdasarkan fakta-fakta untuk membuat suatu kesimpulan yang logis. Masalah kedua mengenai corak penalaran. Masalah ketiga adalah mengenai bagaimana penilaian atas pendapat orang lain atau pendapat sendiri yang pernah dicetuskan.  Keempat dengan prinsip-prinsip itu dikemukakan bagaimana menyusun tulisan argumentatif sendiri. Yang kelima adalah masalah persuasi yang sering di adakan pengacau atas istilah antara argumentasi dan persuasi.

1.2  Tujuan
Penalaran yang merupakan abstraksi proses berfikir yang menelurkan kesimpulan berupa data dan informasi yang factual maupun tidak factual. Bagaimana bentuk-bentuk, cara pemerolehan dan cara pengujiannya harus mempertimbangkan setiap fakta, data dan autoritas dengan cermat.
Mengetahui secara rinci bagaimana proses semua itu, akan dipaparkan dalam susunan materi yang telah terangkum dihalaman selanjutnya. Setiap bentuk proses penalaran akan menghasilkan kesimpulan yang harus dipertanggungjawabkan kebenarannya.
BAB II                                                PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Penalaran
Penalaran adalah suatu proses berpikir yang berusaha menghubungkan fakta-fakta atau evidensi-evidensi yang diketahui menuju kepada suatu kesimpulan. Penalaran merupakan sebuah proses berpikir untuk mencapai suatu kesimpulan yang logis.
Penalaran juga merupakan aktivitas pikiran yang abstrak, untuk mewujudkannya diperlukan simbol. Simbol atau lambang yang digunakan dalam penalaran berbentuk bahasa, sehingga wujud penalaran akan berupa argumen.
Kesimpulannya adalah pernyataan atau konsep adalah abstrak dengan simbol berupa kata, sedangkan untuk proposisi simbol yang digunakan adalah kalimat (kalimat berita) dan penalaran menggunakan simbol berupa argumen. Argumenlah yang dapat menentukan kebenaran konklusi dari premis.
Berdasarkan paparan di atas jelas bahwa tiga bentuk pemikiran manusia adalah aktivitas berpikir yang saling berkait. Tidak ada proposisi tanpa pengertian dan tidak akan ada penalaran tanpa proposisi. Bersama – sama dengan terbentuknya pengertian perluasannya akan terbentuk pula proposisi dan dari proposisi akan digunakan sebagai premis bagi penalaran. Atau dapat juga dikatakan untuk menalar dibutuhkan proposisi sedangkan proposisi merupakan hasil dari rangkaian pengertian.





2.2 Proposisi
Proposisi merupakan fakta-fakta yang telah dirumuskan dalam kalimat-kalimat yang berbentuk pendapat atau kesimpulan. Sebuah pernyataan dapat dibenarkan bila terdapat fakta-fakta untuk membuktikannya atau sebaliknya. Untuk memperjelas hal itu, perhatikan contoh-contoh berikut.
            Semua manusia akan mati pada suatu waktu.
            Beberapa orang Indonesia memiliki kekayaan yang berlimpah-limpah.
            Kota Bandung hancur dalam perang dunia kedua karena bom atom.
            Semua gajah telah punah tahun 1980.
Keempat kalimat di atas merupakan proposisi, kedua kalimat ditas merupakan proposisi yang dapat dibuktikan kebenarannya, sedangkan kedua kalimat terakhir dapat ditolak karena fakta-faktanya menentang kebenaran. Proposisi selalu berbentuk kalimat, tetapi tidak semua kalimat adalah proposisi. Hanya kalimat deklaratif yang mengandung proposisi, karena kalimat itu yang dapat dibuktikan atau disangkal kebenarannya.
Tiap proposisi dapat mencerminkan dua macam kemungkinan. Pertama, ia merupakan ucapan – ucapan faktual sebagai akibat dari pengalaman atau pengetahuan seseorang mengenai sesuatu hal. Kedua, proposisi dapat juga merupakan pendapat, atau kesimpulan seseorang mengenai sesuatu hal. Contoh kalimat “ terjadi sebuah tabrakan di depan Universitas “ merupakan sebuah proposisi yang bersifat pernyataan faktual yaitu sebuah pernyataan yang menyangkut fakta yang dialami oleh seseorang.


2.3  Inferensi dan Implikasi
Kata inferensi berasal dari kata latin inferre yang berarti menarik kesimpulan. Dalam logika, juga dalam bidang ilmiah lainnya, kata inferensi adalah kesimpulan yang diturunkan dari apa yang ada atau dari fakta – fakta yang ada.
Sedangkan  implikasi bila dikaji dari bahasa latin, yaitu dari kata implicare yang berarti melihat atau merangkum. Implikasi juga dapat diartikan sesuatu yang dianggap ada karena sudah dirangkum dalam fakta atau evidensi itu sendiri. Banyak dari kesimpulan sebagai hasil dari proses berpikir yang logis harus disusun dengan memperhatikan kemungkinan – kemungkinan yang tercakup dalam evidensi dan kesimpulan yang masuk akal berdasarkan implikasi. Untuk menjelaskan kedua pengertian diatas, dapat dilihat pada contoh berikut : “ bila seorang ibu mendengar tetesan air dalam kamar mandi, maka ia menarik kesimpulan bahwa kerannya bocor atau kurang cermat dalam menutup keran “. Untuk menetapkan kesimpulan mana yang mempunyai kemungkinan yang paling tinggi, harus dipertimbangkan dua faktor : pertama, bagaimana kebiasaan penghuni rumah mempergunakan keran? Dan kedua, berapa lama usia paking keran tersebut.
Inferensi yang benar dan tidak benar dapat dilihat dengan memperhatikan kebiasaan – kebiasaan dan keadaan pada umumnya. Karena proses berpikir sangat kompleks dan rumit, maka fakta, evidensi, dan kebiasaan – kebiasaan itu harus diperhitungkan dengan cermat.

 2.4 Wujud Evidensi
Pada hakikatnya evidensi adalah semua fakta yang ada, semua kesaksian, semua informasi, atau autoritas yang dihubungkan untuk membuktikan suatu kebenaran. Fakta dalam kedudukan sebagai evidensi tidak boleh dicampur-adukan dengan apa yang dikenal sebagai pernyataan atau penegasan. Pernyataan tidak mempunyai pengaruh apapun terhadap evidensi, hanya sekedar menegaskan apakah suatu fakta benar atau tidak.
Dalam wujudnya yang paling rendah evidensi itu berbentuk data atau informasi. Yang dimaksud dengan data atau informasi adalah bahan keterangan yang diperoleh dari suatu sumber tertentu.
Pada dasarnya semua data dan informasi harus diyakini dan diandalkan kebenarannya. Untuk itu, penulis atau pembicara harus mengadakan pengujian data dan informasi tersebut, apakah bahan tersebut merupakan fakta.
Fakta adalah sesuatu yang sesungguhnya terjadi atau sesuatu  yang ada secara nyata. Bila seorang mengatakan bahwa ia melihat sebuah helikopter jatuh di pegunungan, itu baru merupakan informasi. Tetapi jika sebuah surat kabar memberitakan bahwa ekspor Indonesia bulan Oktober tahun 1980 mencapai 500 juta dollar, itu baru merupakan data. Kedua kasus itu perlu diselidiki lebih lanjut, apakah kedua kasus itu merupakan fakta atau tidak.

2.5 Cara Menguji Data
Data dan informasi yang dipergunakan dalam penalaran harus merupakan fakta. Oleh karena itu, perlu diadakan pengujian-pengujian melalui cara-cara tertentu, sehingga bahan-bahan yang merupakan fakta itu siap digunakan sebagai evidensi. Di bawah ini akan dijelaskan beberapa cara yang dapat dipergunakan untuk pengujian tersebut.
2.5.1 Observasi
Fakta-fakta yang diajukan sebagai evidensi mungkin belum memuaskan seorang pengarang atau penulis. Untuk lebih meyakinkan dirinya sendiri dan sekaligus dapat menggunakan sebaik-baiknya dalam usaha meyakinkan para pembaca, maka kadang-kadang pengarang merasa perlu utnuk mengadakan peninjauan atau observasi singkat untuk mengecek data atau informasi itu. Dan sesungguhnya dalam banyak hal pernyataan-pernyataan yang diberikan oleh seorang biasanya didasarkan atas observasi yang diadakan.
Nina mengabarkan bahwa di Kebun Raya Bogor terdapat sebuah kolam, karena ia pernah berkunjung ke sana. Tommy sebaliknya mengatakan bahwa ada pohon tumbang yang melintang jalan, karena ia melihat ketika pulang sekolah. Penegasan pada semua contoh yang diberikan karena mereka mengalami kejadian tersebut. Tetapi haruslah diingat bahwa pengalaman saja belum menjamin seluruhnya bahwa pernyataan itu merupakan faktual. Sebab itu, tiap pengarang atau penulis harus mengadakan pengujian lagi dengan mengobservasi sendiri data informasi itu.

2.5.2 Kesaksian
Keharusan menguji data dan informasi, tidak selalu harus dilakukan dengan observasi. Kadang-kandang sangat sulit untuk mengharuskan seseorang mengadakan observasi atas obyek yang akan dibicarakan. Kesulitan bisa terjadi karena waktu, tempat, dan biaya yang harus dikeluarkan. Untuk mengatasi hal itu penulis atau pengarang dapat melakukan pengujian dengan meminta kesaksian atau keterangan dari orang lain, yang telah mengalami sendiri atau menyelidiki sendiri persoalan itu.
Seperti seorang pengajar arkeologi tidak perlu menyelidiki sendiri reruntuhan atau peninggalan-peninggalan di lembah sungai indus untuk menguraikan persoalan ilmu perbakala India kepada mahasiswanya. Ia dapat menggunakan kesaksian orang lain yang mengadakan penelitian di sana melalui buku-buku atau majalah-majalah. Demikian pula halnya dengan semua pengarang atau penulis. Untuk memperkuat evidensinya, mereka dapat mempergunakan kesaksian-kesaksian orang lain yang telah mengalami sendiri peristiwa tersebut. Yang dimaksudkan dengan kesaksian di sini tidak hanya mencakup apa yang didengar langsung dari seseorang yang mengalami suatu peristiwa, tetapi juga diketahui melalui buku-buku, dokumen, dsb.


2.5.3 Autoritas
Cara ketiga yang dapat dipergunakan untuk menguji fakta dalam usaha menyusun evidensi adalah meminta pendapat dari autoritas, yakni pendapat dari seorang ahli atau mereka yang telah menyelidik fakta-fakta itu dengan cermat, memperhatikan semua kesaksian, menilai semua fakta kemudian memberikan pendapat mereka sesuai dengan keahlian mereka di bidang itu.
Nasihat seorang dokter tentang penyakit yang diderita akan ditaati oleh pasien, karena dokter itu dianggap sebagai suatu autoritas untuk setiap penyakit. Autoritas dengan demikian dapat diartikan sebagai kesaksian ahli yang diberikan oleh seseorang, sebuah komisi, atau suatu badan atau kelompok yang dianggap berwenang untuk itu.

 2.6 Cara Menguji Fakta
Sebagai telah dikemukakan di atas, untuk menetapkan apakah data atau informasi yang kita peroleh itu merupakan fakta, maka harus diadakan penilaian, apakah data-data atau informasi itu merupakan kenyataan atau hal yang sungguh-sungguh terjadi. Penilaian tersebut baru merupakan penilaian -penilaian tingkat pertama yang hanya diarahkan untuk mendapatkan keyakinan, bahwa semua bahan itu adalah fakta. Sesudah itu, pengarang atau penulis harus mengadakan penilaian tingkat kedua, yaitu dari semua fakta tersebut dapat digunakan sehingga benar-benar memperkuat kesimpulan yang akan diambil.

2.6.1 Konsistensi
Dasar pertama yang dipakai untuk menetapkan fakta mana yang akan dipakai sebagai evidensi adalah kekonsistenan. Sebuah argumentasi akan kuat dan mempunyai tenaga persuasif yang tinggi, jika evidensinya bersifat konsisten, tidak ada satu evidensi yang bertentangan atau melemahkan evidensi yang lain. Misalnya, seseorang tidak dapat membayar uang kuliah, diajukanlah evidensi seperti : pekerjaan orang tua adalah buruh harian, dari golongan rendah, pendidikan orang tua sekolah dasar tidak tamat , dsb. Tetapi, sementara itu juga ada evidensi lain yang mengatakan bahwa ada tujuh orang bersaudara bersekolah di perguruan tinggi swasta lain. Dan untuk ketujuh saudara yang lain itu, orang tua telah mengeluarkan biaya yang sekian banyak, sehingga untuk diri sediri dapat dimintakan keringanan berupa pencicilan uang kuliah. Karena itu, evidensi-evidensi yang diajukan saling melemahkan. Bila evdensi itu bertentangan satu dengan lain atau saling melemahkan, maka argumentasi itu tidak akan meyakinkan pembaca atau pendengar.

2.6.2 Koherensi
Dasar kedua yang dapat dipakai untuk mengadakan penelitian fakta mana yang dapat dipergunakan sebagai evidensi adalah masalah koherensi. Dengan demikian fakta yang digunakan sebagai evidensi harus pula koheren dengan pengalaman manusia atau sesuai dengan pandangan juga sikap yang berlaku. Jika penulis ingin agar sesuatu hal dapat diterima, ia  harus meyakinkan pembaca untuk menerima fakta-fakta dan jalan pikiran yang dikemukakannya. Maka secara konsekuen pula pembaca harus menerima hal lain, yaitu  konklusinya.
Misalnya dalam menerangkan bahaya atau akibat yang timbul dari utang piutang Negara yang setiap tahun bertambah, penulis dapat memulai dari pengalaman sendiri. Berapa lama ia dapat bertahan bila belanja tiap bulan selalu melebihi penghasilannya sebulan. Kecuali harus bekerja ekstra untuk menutup kekurangan itu. Masalah yang dihadapi Negara sama saja. Akibat bagi keduanya sama yaitu kehancuran. Kecuali seperti dikatakan tadi, kalau orang itu atau negara harus bekerja lebih giat untuk meningkatkan penghasilannya dan berusaha menekan pembelanjaannya.
2.7 Cara Menguji Autoritas
Seorang penulis yang baik dan obyektif selalu menghidari semua desas-desus atau kesaksian dari tangan kedua. Penulis yang baik akan membedakan pula apa yang hanya merupakan pendapat saja atau pendapat yang sungguh-sungguh didasarkan atas penelitian atau data eksperimental. Demikian pula sikap seorang penulis menghadapi pendapat autoritas. Dipihak lain autoritas-autoritas yang sungguh-sungguh ahli, masih dapat berbeda pendapat mengenai suatu persoalan. Suatu autoritas dapat pula mempergunakan keterangan dari autoritas lain, atau mempergunakan kesaksian dan interpretasi orang-orang biasa untuk menyusun pendapatnya.
Jika menghadapi kenyataan bahwa pendapat autoritas itu berbeda-beda, yang dapat dilakukan adalah membanding-bandingkan autoritas-autoritas itu dan mengadakan evaluasi atas pendapat-pendapat tersebut untuk menemukan suatu pendapat yang dapat dipertanggung jawabkan. Untuk menilai suatu autoritas, penulis dapat memilih beberapa pokok berikut.

2.7.1 Tidak Mengandung Prasangka
Dasar pertama yang perlu diketahui oleh penulis adalah bahwa pendapat autoritas sama sekali tidak boleh mengandung prasangka. Tidak mengandung prasangka berarti pendapat itu disusun berdasarkan pada hasil-hasil eksperimental yang dilakukannya. Pengertian tidak mengandung prasangka juga mencakup hal lain, yaitu bahwa autoritas tidak boleh memperoleh keuntungan pribadi dari data-data eksperimentalnya.
Untuk mengetahui apakah autoritas itu tidak memperoleh keuntungan pribadi dari pendapatnya atau kesimpulannya itu, penulis harus memperhatikan apakah autoritas itu mempunyai interes yang khusus atau tidak. Bila faktor-faktor itu tidak mempengaruhi autoritas itu, maka pendapatnya dapat dianggap sebagai pendapat yang obyektif.
2.7.2 Pengalaman dan Pendidikan Autoritas
Dasar kedua yang harus diperhitungkan penulis untuk menilai pendapat suatu autoritas adalah menyangkut pengalaman dan pendidikan autoritas. Pendidikan yang diperoleh menjadi jaminan awal dan harus dikembangkan lebih lanjut dalam kegiatan-kegiatan sebagai seorang ahli yang diperoleh melalui pendidikannya tadi. Pengalaman yang diperoleh autoritas dengan penelitian yang dilakukannya dan mempresentasikan hasil-hasil penelitian juga pendapatnya, akan lebih memperkokoh kedudukannya, dengan catatan bahwa syarat pertama diatas harus diperhatikan.

2.7.3 Kemashuran dan Prestise
Faktor ketiga yang harus diperhatikan oleh penulis untuk menilai autoritas adalah meneliti apakah pernyataan atau pendapat yang akan dikutip sebagai autoritas itu hanya sekedar bersembunyi dibalik kemashuran dan prestise pribadi dibidang lain.
Sering terjadi bahwa seseorang yang menjadi terkenal karena prestise tertentu, dianggap berwenang pula dalam segala bidang. Selama apa yang dikatakannya hanya merupakan pendapat, maka tidak menjadi masalah. Tapi sangat menyedihkan bila pendapatnya itu dikutip dan diperlakukan sebagai suatu autoritas, tanpa mengadakan penelitian sampai dimana kebenaran pendapat itu dan dasar-dasar mana yang dipakai dan diandalkan untuk menyusun pendapat itu.

2.7.4 Koherensi dengan Kemajuan
Hal keempat yang perlu diperhatikan penulis argumentasi adalah apakah pendapat yang diberikan autoritas itu sejalan dengan perkembangan dan kemajuan jaman, atau koheren dengan pendapat atau sikap terakhir dalam bidang itu.
Pengetahuan dan pendapat terakhir tidak selalu berarti bahwa pendapat itulah yang terbaik. Tetapi harus diakui bahwa pendapat-pendapat terakhir dari para ahli dalam bidang yang sama lebih dapat diandalkan, karena autoritas-autoritas semacam itu memperoleh kesempatan yang paling baik untuk membandingkan semua pendapat sebelumnya dengan segala kebaikan dan keburukannya atau kelemahannya, sehingga mereka dapat mencetuskan suatu pendapat yang lebih baik, yang dapat dipertanggungjawabkan.
Sebab itu untuk memberi evaluasi yang tepat terhadap autoritas yang dikutip, pengarang harus menyebut nama autoritas, gelar, kedudukan, dan sumber khusus tempat kutipan itu dijumpai. Bila mungkin penulis harus mengutip setepat-tepatnya kata-kata atau kalimat autoritas tersebut.
Untuk memperlihatkan bahwa penulis sungguh-sungguh siap dengan persoalan yang tengah diargumentasikan, maka sebaiknya seluruh argumentasi itu jangan didasarkan hanya pada satu autoritas. Dengan bersandar pada satu autoritas saja, maka hal itu memperlihatkan bahwa penulis kurang menyiapkan diri.



BAB III                                                          PENUTUP
3.1       Kesimpulan   
            Kesimpulan berasal dari penalaran yang saling terkait dari data, informasi dan fakta yang ada sebenarnya. Kesimpulan bisa berbentuk proposisi (rumusan), Inferensi (asumsi) dan implikasi (rangkuman) yang berupa evidensi yang teruji sebelumnya. Kebenaran data dan fakta serta pertanggungjawaban atas informasi, pendapat maupun kutipan dari autoritas menjadi pertimbangan yang sangat mempengaruhi dalam penulisan-penulisan.
            Pengujian segala data, fakta serta pendapat dari autoritas sebelum dijadikan kutipan memiliki proses tersendiri. Mulai dari cara perolehannya sampai landasan dalam segala informasi itu timbul.
            Penalaran yang tepat akan menghasilkan kesimpulan yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan setiap informasi yang disampaikan baik dalam bentuk tulisan, bahasa, symbol, maupun lambang-lambang tertentu yang mengekspresikan setiap pemikiran logis dalam keadaan yang sebenar-benarnya serta dapat dilihat dan dinilai dari sudut yang objektif.
           








Referensi
Gorys Keraf, Argumentasi dan Narasi. Jakarta: Gramedia

1 komentar:

  1. Abaca de julis alamida babyliss pro nano titanium hair dryer
    titanium hair trimmer mbs › ada citizen promaster titanium › babyliss › mens titanium braclets mbs › nipple piercing jewelry titanium ada › babyliss › mbs › ada › ridge wallet titanium babyliss

    BalasHapus